Menu Bar

Senin, 29 Juli 2013


Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan (Kajian Hadits)

Penulis: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Apabila datang Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya kitab Ash-Shaum, bab Hal Yuqalu Ramadhan au Syahru Ramadhan no. 1898, 1899. Dikeluarkan pula dalam kitab Bad‘ul Khalqi, bab Shifatu Iblis wa Junuduhu no. 3277. Adapun Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya membawakannya dalam kitab Ash-Shaum, dan diberikan judul babnya oleh Al-Imam An-Nawawi, Fadhlu Syahri Ramadhan no. 2492.
Pintu Kebaikan Terbuka, Pintu Kejelekan Tertutup
Kedatangan Ramadhan akan disambut dengan penuh kegembiraan oleh insan beriman yang selalu merindukan kehadirannya dan menghitung-hitung hari kedatangannya. Banyak keutamaan yang dijanjikan untuk diraih dan didapatkan di bulan mulia ini, di antaranya seperti tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita dalam rubrik ‘Hadits’ kali ini. Dan keutamaan yang tersebut dalam hadits di atas didapatkan sejak awal malam Ramadhan yang mubarak sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِرَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ. وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَ ذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Apabila datang awal malam dari bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin yang sangat jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tidak ada satu pintupun yang terbuka, sedangkan pintu-pintu surga dibuka tidak ada satu pintupun yang ditutup. Dan seorang penyeru menyerukan: ‘Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.’ Dan Allah (SWT) memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, yang demikian itu terjadi pada setiap malam.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 682 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1682, dihasankan Asy-Syaikh Albani rahimahullahu dalam Al-Misykat no. 1960)
Pada bulan yang penuh barakah ini, kejahatan di muka bumi lebih sedikit, karena jin-jin yang jahat dibelenggu dan diikat, sehingga mereka tidak bebas untuk menyebarkan kerusakan di tengah manusia sebagaimana hal ini dapat mereka lakukan di luar bulan Ramadhan. Di hari-hari itu kaum muslimin tersibukkan dengan ibadah puasa yang dengannya akan mematahkan syahwat. Juga mereka tersibukkan dengan membaca Al-Qur`an dan ibadah-ibadah lainnya. (Al-Mirqah, Asy-Syaikh Mulla ‘Ali Al-Qari pada ta’liq Al-Misykat 1/783, hadits no. 1961)
Ibadah-ibadah ini akan melatih jiwa, membersihkan dan mensucikannya. Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Karena amal shalih banyak dilakukan, demikian pula ucapan-ucapan yang baik berlimpah ruah, ditutuplah pintu-pintu jahannam dan dibuka pintu-pintu surga. (Shifatu Shaumin Nabiyyi shallallahu alaihi wasallam fi Ramadhan, hal. 18-19)
Makna ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ adalah setan itu dibelenggu. Dan yang dimaksudkan dengan setan di sini adalah مَرَدَةُ الْجِنِّ sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Kata مَرَدَةٌ adalah bentuk jamak (lebih dari dua) dari kata الْمَارِدُ yaitu الْعَاتِي الشَّدِيْدُ , maknanya yang sangat angkuh, durhaka, bertindak sewenang-wenang lagi melampaui batas (lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits). Sehingga yang dibelenggu hanyalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat, adapun setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran.
Kita perlu nyatakan hal ini, kata Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullahu, agar jangan sampai engkau mengatakan: “Kami mendapatkan beberapa perselisihan dan fitnah di bulan Ramadhan (lalu bagaimana dikatakan setan-setan itu dibelenggu sementara kejahatan tetap ada? -pent.).” Kita jawab bahwa yang dibelenggu adalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat. Sedangkan setan-setan yang kecil dan setan-setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran tidak dibelenggu. Demikian pula jiwa yang memerintahkan kepada kejelekan, teman-teman duduk yang jelek dan tabiat yang memang senang dengan fitnah dan pertikaian. Semua ini tetap ada di tengah manusia, tidak terbelenggu kecuali jin-jin yang sangat jahat. (Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il, hal. 163)
Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullahu berkata dalam Shahih-nya (3/188): “Bab penyebutan keterangan bahwa hanyalah yang diinginkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ hanyalah jin-jin yang jahat, bukan semua setan. Karena nama setan terkadang diberikan kepada sebagian mereka (tidak dimaukan seluruhnya).”
Di bulan yang mubarak ini ada malaikat yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru untuk mengurangi kejelekan sebagaimana dalam lafadz hadits:
وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ
“Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.”
Hadits-hadits tentang Keutamaan Ramadhan
Selain hadits di atas, banyak lagi hadits lain yang berbicara tentang keutamaan Ramadhan. Di antaranya akan kita sebutkan berikut ini:
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 1778)
2. Dari ‘Imran bin Murrah Al-Juhani radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله، وَأَنَّكَ رَسُوْلَ اللهِ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، وَأَدَّيْتُ الزَّكاةَ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، فَمِمَّنْ أَنَا؟ قَالَ: مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ
“Wahai Rasulullah, apa pendapat anda bila aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (SWT) saja dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, aku mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat dan puasa di bulan Ramadhan, maka termasuk dalam golongan manakah aku?” Rasulullah menjawab: “Engkau termasuk golongan shiddiqin dan syuhada.” (HR. Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya, dan lafadz yang disebutkan adalah lafadz Ibnu Hibban. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 989)
3. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ، فَرَضَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ وَتُغَلُّ فِيْهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِيْنِ، لِلَّهِ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Telah datang pada kalian Ramadhan bulan yang diberkahi. Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan atas kalian untuk puasa di bulan ini. Pada bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu setan-setan yang sangat jahat. Pada bulan ini Allah (SWT) memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang diharamkan untuk mendapatkan kebaikan malam itu maka sungguh ia telah diharamkan.” (HR. Ahmad, 2/385, An-Nasa`i no. 2106, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i. Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 985, Al-Misykat no. 1962)
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةَ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, apabila dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 549)
Cukuplah kiranya keutamaan bagi Ramadhan dengan Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala memilihnya di antara bulan-bulan yang ada untuk Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala turunkan kitab-Nya yang mulia di bulan berkah tersebut, di malam yang penuh kemuliaan. Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dengan yang batil.” (Al-Baqarah: 185)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur`an itu pada malam Qadar (malam kemuliaan).” (Al-Qadar: 1)
Puasa Semestinya membuahkan Takwa
Hikmah disyariatkannya puasa dinyatakan Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullahu berkata: “Perkara takwa yang dikandung puasa di antaranya:
Orang yang puasa meninggalkan apa yang Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala haramkan kepadanya berupa makan, minum, jima’ dan semisalnya, sementara jiwa itu condong kepada perkara yang harus ditinggalkan tersebut. Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala, mengharapkan pahala-Nya. Ini termasuk takwa.
Orang yang puasa melatih jiwanya untuk merasakan pengawasan Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala (muraqabatullah), maka ia meninggalkan apa yang diinginkan jiwanya padahal ia mampu melakukannya, karena ia mengetahui pengawasan Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya.
Puasa itu menyempitkan jalan setan, karena setan itu berjalan pada anak Adam seperti peredaran/aliran darah. Dan puasa akan melemahkan jalannya sehingga mengecilkan perbuatan maksiat.
Orang yang puasa umumnya memperbanyak amalan ketaatan sementara amalan ketaatan termasuk perangai takwa.
Orang yang kaya jika merasakan tidak enaknya lapar maka mestinya ia akan memberikan kelapangan/memberi derma kepada orang-orang fakir yang tidak berpunya. Ini pun termasuk perangai takwa. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 86)
Dengan demikian sungguh tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa seharusnya momentum Ramadhan dijadikan langkah awal untuk memperbaiki iman dan takwa kepada Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala, untuk kemudian iman dan takwa itu terus dipupuk dan dirawat di bulan-bulan selanjutnya. Dan jangan dibiarkan terpisah dari jiwa dan raga hingga datang jemputan dari utusan Ar-Rahman (malaikat maut). Khususnya kita –penduduk negeri ini– seharusnya berkaca diri berkaitan dengan segala petaka yang menimpa negeri kita, demikian pula musibah yang datang terus menerus, lagi susul menyusul. Tidaklah semua ini menimpa kita kecuali karena dosa-dosa kita dan jauhnya kita dari iman serta takwa kepada Al-Khaliq.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan/ulah manusia, supaya Allah (SWT) merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيْرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah (SWT) memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)
Musibah yang menimpa negeri ini berupa gempa, tsunami, meletusnya gunung berapi, tanah longsor, semburan lumpur panas, dan sebagainya bukanlah karena kesialan penguasa/pemerintah sebagaimana tuduhan orang-orang dungu atau pura-pura dungu. Namun justru karena dosa-dosa yang ada di negeri ini. Terlepas apakah bencana ini karena rekayasa asing yang ingin menjatuhkan dan menghancurkan negeri ini sebagaimana analisa sebagian orang, atau murni musibah tanpa rekayasa, toh semuanya ditimpakan oleh Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala sebagai teguran bagi kita agar kembali kepada-Nya. Bangkit dari lumpur hitam dosa dan maksiat, untuk kemudian bertaubat dan mohon ampun kepada-Nya.
Yang sangat disesalkan, di antara penduduk negeri ini banyak yang tidak sadar dari maksiat mereka dengan musibah yang menimpa. Mereka malah melakukan praktik-praktik kesyirikan, membuat sesajen penolak bala yang dipersembahkan kepada roh-roh penguasa laut, penguasa gunung, penguasa darat, dan sebagainya. Na’udzubillah min dzalik!!!
Sehubungan dengan momentum Ramadhan sebagai bulan untuk menambah iman dan takwa, serta terkait dengan banyaknya musibah yang menimpa negeri ini, bagus sekali untuk kita nukilkan nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkenaan dengan musibah yang menimpa anak Adam, khususnya gempa bumi1. Mudah-mudahan nasehat ini bisa menjadi renungan bagi anak negeri ini.
Beliau rahimahullahu berkata: “Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala Maha Memiliki hikmah Maha Mengetahui terhadap apa yang Dia putuskan dan tetapkan, sebagaimana Dia Maha Memiliki Hikmah lagi Maha Mengetahui dalam apa yang Dia syariatkan dan perintahkan. Dia menciptakan apa yang diinginkan-Nya berupa tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia tetapkan hal itu untuk menakut-nakuti hamba-Nya dan mengingatkan mereka tentang hak-Nya dan memperingatkan mereka dari kesyirikan, penyelisihan terhadap perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya.”
Selanjutnya beliau menyatakan: “Tidaklah diragukan bahwa gempa yang terjadi pada hari-hari ini di banyak tempat/negeri merupakan sejumlah tanda-tanda kekuasaan Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala, yang dengannya Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala hendak menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Seluruh musibah gempa yang terjadi dan perkara lainnya yang membuat kemudharatan para hamba dan menyebabkan gangguan bagi mereka, adalah disebabkan kesyirikan dan maksiat.”
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Tidaklah satu kebaikan menimpamu melainkan itu dari Allah (SWT) dan tidaklah satu kejelekan menimpamu melainkan karena ulah dirimu sendiri.” (An-Nisa`: 79)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Yang wajib dilakukan oleh seluruh muslimin adalah bertaubat kepada Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala, istiqamah di atas agamanya dan berhati-hati dari seluruh perkara yang dilarang berupa syirik dan maksiat. Sehingga mereka memperoleh pengampunan, kelapangan, keselamatan di dunia dan di akhirat dari seluruh kejelekan, dan Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala menolak dari mereka seluruh musibah, lalu menganugerahkan kepada mereka setiap kebaikan. Sebagaimana Ia berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُوْنَ
“Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa niscaya Kami bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka malah mendustakan maka Kami pun menyiksa mereka disebabkan apa yang dulunya mereka upayakan.” (Al-A’raf: 96)
Kemudian Syaikh menukilkan ucapan Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu: “Di sebagian waktu Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan bumi untuk bernapas panjang. Ketika itu terjadilah gempa/goncangan yang besar, sehingga menimbulkan ketakutan pada hamba-hamba-Nya, lalu mereka kembali kepada Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala dan mencabut diri dari maksiat, tunduk patuh kepada Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala dan menyesali diri, sebagaimana ucapan sebagian salaf ketika terjadi gempa bumi: ‘Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian.’ Ketika terjadi gempa di kota Madinah, ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu berkhutbah dan memberi nasehat kepada penduduk Madinah dan beliau berkata: ‘Kalau gempa ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal bersama kalian di Madinah ini.’
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menasehatkan: “Ketika terjadi gempa bumi dan tanda-tanda kekuasaan Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala lainnya, gerhana, angin kencang dan banjir, yang wajib dilakukan adalah bertaubat kepada Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala, tunduk menghinakan diri kepada-Nya dan memohon maaf/kelapangan-Nya serta memperbanyak mengingat-Nya dan istighfar pada-Nya. Sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Apabila kalian melihat gerhana maka berlindunglah kalian dengan zikir/mengingat Allah (SWT), berdoa kepada-Nya dan istighfar.”
Disenangi pula untuk memberikan kasih sayang kepada fakir miskin dan bersedekah kepada mereka dengan dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِي اْلأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Orang-orang yang menyayangi (memiliki sifat rahmah) akan dirahmati oleh Ar-Rahman. Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya Yang di langit akan merahmati kalian.”2
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
“Siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi/dirahmati.”3
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bahwa beliau mengirim surat kepada gubernur-gubernurnya ketika terjadi gempa agar mereka bersedekah.
Termasuk sebab kelapangan dan keselamatan dari semua kejelekan adalah agar pemerintah bersegera mengambil tangan rakyatnya dan mengharuskan mereka untuk berpegang dengan kebenaran dan menjalankan syariat Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala pada mereka serta amar ma’ruf nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ
“Kaum mukminin dan mukminat sebagian mereka adalah wali/kekasih bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mentaati Allah (SWT) dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati Allah (SWT).” (At-Taubah: 71)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى معْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
“Siapa yang melepaskan seorang mukmin dari satu bencana/kesulitan dunia niscaya Allah (SWT) akan melepaskannya dari satu bencana di hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan bagi orang yang sedang kesulitan niscaya Allah (SWT) akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutup kejelekan/cacat seorang muslim, Allah (SWT) pun akan menutup cacatnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah (SWT) senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”4
Demikian nasehat dari Asy-Syaikh Ibnu Baz –semoga Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan melapangkan beliau di kuburnya, amin–. Semoga Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala merahmati penduduk negeri ini dan menghilangkan musibah dari mereka serta memberi taufik kepada mereka agar bertaubat dan kembali kepada agama-Nya yang benar. Semoga penduduk negeri ini mengambil pelajaran yang berharga di bulan mubarak ini, bulan Ramadhan nan penuh keberkahan, menambah iman dan takwa mereka kepada Allah (SWT) Subhanahu wa Ta’ala hingga mereka menjadi , orang-orang yang dibebaskan dari api neraka. Allahumma amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Dinukil secara ringkas dari kitab Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 9/148-152.
2 HR. At-Tirmidzi no. 1924, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 922
3 HR. Al-Bukhari no. 7376
4 HR. Muslim no. 6793

Tanda Lailatul Qadar dan Kapan Lailatul Qadar Terjadi?


Lailatul qadar adalah malam yang ditetapkan Allah bagi umat Islam. Ada dua pengertian mengenai maksud malam tersebut. Pertama, lailatul qadar adalah malam kemuliaan. Kedua, lailatul qadar adalah waktu ditetapkannya takdir tahunan. Kedua makna ini adalah maksud dari lailatul qadar.
Lailatul qadar adalah waktu penetapan takdir sebagaimana disebutkan dalam ayat,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhon: 4). Qotadah berkata, “Yang dimaksud adalah pada malam lailatul qadar ditetapkan takdir tahunan.”  (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 13: 132)

Kapan Lailatul Qadar Terjadi?

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169).
Yang dimaksud dalam hadits ini adalah semangat dan bersungguh-sungguhlah mencari lailatul qadar pada sepuluh hari tersebut. Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 53.
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017).
Kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun (lihat Fathul Bari, 4: 262-266 dan Syarh Shahih Muslim, 6: 40).
Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari no. 2021)
Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan (lihat Fathul Bari, 4: 266).

Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar

Ibnu Hajar Al Asqolani berkata,
وَقَدْ وَرَدَ لِلَيْلَةِ الْقَدْرِ عَلَامَاتٌ أَكْثَرُهَا لَا تَظْهَرُ إِلَّا بَعْدَ أَنْ تَمْضِي
“Ada beberapa dalil yang membicarakan tanda-tanda lailatul qadar, namun itu semua tidaklah nampak kecuali setelah malam tersebut berlalu.” (Fathul Bari, 4: 260).

CERITA RAKYAT SEJARAH SUKU TOMINI
"THIALLO"

Desa tomini merupakan desa yang tertua di kecamatan Tomini yang terdapat di Kabupaten parigi Moutong Propinsi Sulawesi Tengah masyarakatnya  sangat ramah serta menjujung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan persatuan.
Penduduk asli tomini mempunyai bahasa daerah sendiri yakni bahasa tialo, kemudian bahasa ini berkambang menjadi empat dialek
·        Bahasa tomini dialek tilao
·        Bahasa tomini dialek tajio
·        Bahasa tomini dialek lauje
·        Bahasa tomini dialek dondo

Rabu, 19 Juni 2013

NASEHAT UNTUK KAUM MUSLIMIN MENYAMBUT BULAN RAMADHAN

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
(mufti agung Saudi ‘Arabia)
بسم الله والحمد لله وصلى الله على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن اهتدى بهداه، أما بعد:
Sesungguhnya aku menasehatkan kepada saudaraku-saudaraku kaum muslimin di mana pun berada terkait dengan masuknya bulan Ramadhan yang penuh barakah tahun 1413 H ini [1] dengan taqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, berlomba-lomba dalam seluruh bentuk kebaikan, saling menasehati dengan al haq, dan bersabar atasnya, at-ta’awun (saling membantu) di atas kebaikan dan taqwa, serta waspada dari semua perkara yang diharamkan Allah dan dari segala bentuk kemaksiatan di manapun berada. Terlebih lagi pada bulan Ramadhan yang mulia ini, karena ia adalah bulan yang agung. Amalan-amalan shalih pada bulan itu dilipatgandakan (pahalanya), dosa dan kesalahan akan terampuni bagi siapa saja yang berpuasa dan mendirikannya (dengan amalan-amalan kebajikan) dengan penuh keimanan dan rasa harap (akan keutamaan dari-Nya), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan rasa harap, maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Al Bukhari 2014 dan Muslim 760)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِيْنُ.
Jika telah masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu Al Jannah akan dibuka, pintu-pintu Jahannam akan ditutup, dan para syaitan akan dibelenggu. (HR. Al Bukhari 1899 dan Muslim 1079)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :
الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّيْ صَائِمٌ.
Puasa itu adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengucapkan ucapan kotor, dan jangan pula bertindak bodoh, jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa. (HR. Al Bukhari 1904)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ، تَرَكَ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِيْ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ، فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ، وَلَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ عِنْدَ اللهِ أَطْيَبُ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Semua amalan anak Adam untuknya, setiap satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya, kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, Aku yang akan membalasnya. Karena seorang yang berpuasa telah meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku. Bagi seorang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan: gembira ketika berbuka, dan gembira ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut seorang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih wangi daripada minyak wangi misk. (HR. Al Bukhari 1904 dan Muslim 1151)
Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira kepada para shahabatnya dengan masuknya bulan Ramadhan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka:
أتاكم شهر رمضان شهر بركة، ينزل الله فيه الرحمة، ويحط الخطايا، ويستجيب الدعاء، ويباهي الله بكم ملائكته ، فأروا الله من أنفسكم خيرا ؛ فإن الشقي من حرم فيه رحمة الله
Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh barakah. Allah menurunkan padanya rahmah, menghapus kesalahan-kesalahan, mengabulkan do’a, dan Allah membanggakan kalian di hadapan para malaikat-Nya, maka perlihatkanlah kepada Allah kebaikan dari diri-diri kalian, sesungguhnya orang yang celaka adalah orang yang diharamkan padanya rahmat Allah. (Dalam Majma’ Az-Zawa`id Al-Haitsami menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir)
Dan beliau ‘Alaihish Shalatu Wassalam bersabda:
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan yang haram dan mengamalkannya, ataupun bertindak bodoh, maka Allah tidak butuh dengan upaya dia dalam meninggalkan makan dan minumnya. (HR Al Bukhari dalam Shahihnya).
Hadits-hadits tentang keutamaan bulan Ramadhan dan dorongan untuk memperbanyak amalan di dalamnya sangatlah banyak.
Maka aku juga mewasiatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin untuk istiqmah pada siang dan malam-malam bulan Ramadhan dan berlomba-lomba dalam segala bentuk amalan kebaikan, di antaranya adalah memperbanyak qira’ah (membaca) Al Qur’anul Karim disertai dengan tadabbur (upaya mengkajinya) dan ta’aqqul (upaya memahaminya), memperbanyak tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan istighfar, serta memohon kepada Allah Al Jannah, berlindung kepada-Nya dari An Nar, dan do’a-do’a kebaikan yang lainnya.
Sebagaimana aku wasiatkan juga kepada saudara-saudaraku untuk memperbanyak shadaqah, membantu para fakir miskin, peduli untuk mengeluarkan zakat dan menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya, disertai juga dengan kepedulian untuk berdakwah ke jalan Allah subhanahu, memberikan pengajaran kepada orang jahil, dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang lembut, hikmah, dan metode yang baik, disertai juga dengan sikap hati-hati dari segala bentuk kejelekan, dan senantiasa bertaubat dan istiqmah di atas al-haq dalam rangka mengamalkan firman-Nya subhanahu:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An Nur: 31)
Dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka tetap istioqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni Al Jannah, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (Al Ahqaf: 13-14)
Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq bagi semuanya kepada perkara-perkara yang diridhai-Nya, dan mudah-mudahan Allah melindungi semuanya dari kesesatan (yang disebabkan) fitnah dan gangguan-gangguan setan. Sesungguhnya Dia Maha Dermawan lagi Maha Mulia.

Hukum Onani

Permasalahan fitrah sebenarnya merupakan sesuatu yang menjadi perhatian besar bagi Islam namun kerana kegilaan, kecelakaan dan kedurjananya masyarakat Islam hari ini maka kita semua menerima balanya.


“ Sesungguhnya fitrah yang diciptakan Allah dan ditetapkan manusia dengannya (tertakluk kepada fitrah tersebut).” (Surah Ar-Rum :30).

Sudah beberapa kali saya ditanya mengenai masalah onani ini dan saya sudah menjelaskan kepada setiap individu secara peribadi tanpa menulis dikhalayak kerana ianya mengaibkan namun demi kerana sudah terlalu ramai memerlukan maka saya tampilkan penulisan ini bagi menjawab permasalahan ini.

Manusia diciptakan secara fitrah yang memerlukan pasangan dan teman serta memerlukan kepuasan batin dari hubungan lain jantina dan ini disebut oleh Allah swt :

“ Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah diciptakan bagi kamu dari diri kamu isteri-isteri supaya kamu bersenang-senang kepadanya..” (Ar-Rum : 21).


Sesungguhnya setiap lelaki bagi tua atau muda mereka diciptakan dengan mempunyai zakar sebagai alat untuk memenuhi fitrah batin mereka sebagaimana mulut dijadikan sebagai alat untuk makan bagi memenuhi fitrah manusia yang perlu makan dan minum demi meneruskan kehidupan maka demikianlah zakar yang diciptakan Allah swt demi sebagai anggota yang memerlukan faraj demi memenuhi keperluan batinnya secara fitrah.


“ Sesungguhnya fitrah yang diciptakan Allah dan ditetapkan manusia dengannya (tertakluk kepada fitrah tersebut).”
(Surah Ar-Rum :30).


Tidaklah golongan yang menyalahi fitrah yang diciptakan Allah swt melainkan dia itu zalim dan melampaui batas manakala bagi mereka yang tidak terpenuhi fitrah yang diciptakan Allah maka menderitalah mereka dalam kesusahan.

Golongan lelaki yang tidak mampu berkahwin di Malaysia ini begitu ramai sekali khususnya golongan remaja yang berumur di antara 17 hingga 25 tahun apabila waktu ini merupakan waktu kemuncak syahwat dan asmara yang secara fitrah memerlukan wanita dan kepuasan seks.

Demikianlah juga wanita dalam tempoh sebegini mereka juga tidak dapat mengelak diri dari terjatuh ke lembah maksiat lantaran godaan nafsu dan fitrah yang memerlukan pasangan dan seks.

Islam menyelesaikan masalah fitrah bagi lelaki dan wanita dalam soal seks ialah dengan mewujudkan ibadah nikah dan perkahwinan namun hal ini hanyalah tinggal teori sahaja sebabnya pelaksanaan nikah dan perkahwinan itu pada masa kini bukanlah lagi sesuatu yang mudah sebaliknya menjadi satu kerja gila yang menyerabutkan.


“ Allah mengehendaki kesenangan kepada kamu dan tidak mengingini kesusahan menimpa kamu” (Al-Baqarah : 185).


Perkahwinan di Malaysia sebagai contoh, memerlukan seorang lelaki itu mempunyai belanja dan wang yang banyak sehingga belanja kahwin sahaja boleh menjangkau sehingga RM 10 000 dan itu belum termasuk belanja kehidupan keluarga yang semakin hari semakin mahal.

Tidak ramai yang mampu untuk bernikah kerana pernikahan itu sukar sekali baik kerana masalah kewangan, kerana masalah keluarga dan kerana masalah sukar mencari pasangan atau pelbagai lagi.

Wanita Islam di Malaysia juga ramai yang sudah berumur lewat 28 tahun atau 30 an namun masih belum mempunyai pasangan dan belum bekeluarga lantaran tiada jodoh atau pun bermasalah keluarga seperti mempunyai ibubapa yang gila.


“ Dan tidaklah kami menjadikan deen ini kepada kamu sebagai sesuatu yang menyusahkan” (Al-hajj : 78).


Kembali pada topik asal, lalu akibat dari kesusahan untuk melepaskan nafsu dan memuaskan fitrah menurut kaedah yang asal iaitu bernikah maka ramai orang baik lelaki dan wanita mengambil jalan mudah dengan melakukan onani bagi menyelesaikan masalah mereka.


“Allah mengehendaki kemudahan bagi kamu dan sesungguhnya diciptakan manusia itu dalam keadaan yang dhaif (lemah)”(Surah An-Nisa : 27).


Onani ialah perbuatan mengeluarkan air mani bagi lelaki dengan mengunakan tangan dan inilah kaedah yang biasa dilakukan manakala bagi sesetengah golongan ialah mengunakan alatan seperti patung wanita yang diperbuat dengan getah seperti yang dijual di farmasi Eropah.

Berdasar maklumat yang diperolehi dari pakar perubatan seperti Dr Ismail Thamby mereka menyebut onani dilakukan sambil mengunakan alatan pelican seperti sabun, gel dan lain-lain bagi mendatangkan kepuasan syahwat sementara sebagai melepaskan tekanan seksual.

Manakala bagi wanita ialah dengan memasukan jari atau sesuatu alatan keras ke dalam faraj mereka bagi menimbulkan rangsangan pada faraj sehingga mencapai klimaks iaitu kepuasan syahwat.

Hukum Onani bagi mereka yang tidak mampu bernikah dan takut terjatuh ke dalam maksiat ialah harus dan tidak berdosa. Bahkan kaedah fiqhiyah juga menyebut : الضرورات تبيح المحظورات
“ Kemudharatan itu membolehkan apa yang terlarang” (lihat Qawaid fiqhiyah m/s 67 oleh Dr Abd Karim Zaidan).


Inilah pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ibn taimiyyah dan Ibn Qayyim serta dari Ibn Aqil bahkan pendapat ini diperkuatkan oleh Imam Ahmad dengan riwayat bahawa para sahabat terdahulu beronani dalam perang dan ketika musafir sebagai keharusan melakukan onani apabila terdesak dan perlu (lihat Al-bada’I wal fawa’id m/s 870 Jilid 2).

Adapun apabila melakukan onani itu hanya kerana mencari keseronokan dan berhibur dengannya maka hukumnya ialah haram dan ditegah ini kerana ianya termasuk perbuatan yang keji dan kotor serta memudharatkan akal dan jiwa sehingga menjadikan diri dikuasai oleh syahwat dan dibimbangi terjebak kepada zina.

Namun apabila syahwat itu terlalu mendesak dan mengoda maka tidaklah mengapa beronani dengan tangan atau apa jua alatan asalkan sekadar mencukupi untuk memuaskan syhawat demi mencegah zina.

Sabda baginda : “ Sesungguhnya kamu diutuskan untuk memudahkan manusia dan bukan untuk mempersusahkan”(hadith sahih, Riwayat jamaah kecuali Muslim).

Walaubagaimana pun terdapat beberapa perkara yang perlu diperhatikan dalam beronani iaitu :

Hukum onani akan menjadi haram apabila seorang lelaki itu mengunakan gambar lucah, atau bayangan di otaknya akan perkara kotor atau berkhayal wanita kerana ini bukan lagi beronani demi mencegah zina sebaliknya ianya sudah bertujuan mencari kepuasan dan berseronok dan ini diharamkan.

Tidak boleh berseronok dengan jalan yang haram.

Adapun sebaliknya mereka yang terdesak cukup sahaja beronani tanpa perlu bayangan dan khayalan atau apa-apa modal yang haram kerana niatnya sekadar untuk mengurang tekanan seksual dan ini dibolehkan.

Begitu juga wanita yang tidak mampu menahan desakan batin maka tidak mengapa mereka beronani dengan mengunakan tangan atau apa alatan yang tidak merbahaya asalkan dibuat setelah terdesak bukan dengan sengaja atau berniat mencari keseronokkan.


Firman Allah swt :

“Dan bertaqwalah kamu kepada Allah semampu kamu” (surah : at-taghabun :16).


Juga diharamkan berkhayal kotor dan menonton filem kotor kerana Islam mengharamkan demikian. Sesungguhnya kelonggaran dibolehkan onani ini hanya apabila ianya terdesak dan demi mencegah zina.

Menjawab golongan yang mengharamkan onani secara mutlak

Mereka (para fuqaha) yang mengharamkan onani secara mutlak adalah kerana hujah mereka berdasarkan hadith Abdullah ibn Mas’ud yang baginda pernah bersabda :

“ Wahai Para pemuda, barangsiapa yang mampu dikalangan kamu maka bernikahlah kerana sesungguhnya dengan nikah itu dapat menundukkan pandangan dan menyelamatkan kemaluan (kehormatan) dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa sesungguhnya bagi berpuasa itu satu perlindungan”(hadith sahih riwayat bukhari no. 5063 , Muslim no. 3389 nasaie dan Ahmad).

Hadith ini dijadikan hujah bahawa bagi golongan yang tidak mampu bernikah maka hendaklah dia berpuasa dan menuruti pertunjuk sunnah dalam menghadapi suasana kesusahannya yang tidak mampu bernikah itu dengan berpuasa bukan dengan melakukan onani yang merupakan perbuatan kotor.

Menjawab kepada hadith ini ialah :

Pertama baginda menyebut perkataan ( الباءة) yang diterjemahkan oleh saya sebagai “mampu bernikah” secara lafaz umum namun sebenarnya menurut fuqaha perkataan “alba’ath” ini bermaksud kemampuan untuk berjima ‘ (bersetubuh) maka itulah yang dimaksudkan oleh baginda sebagai kemampuan untuk bernikah dalam hadith di atas (sila lihat fiqh sunnah m/s 105 Jilid 2).

Baginda tidak pernah menjadikan atau menilai kemampuan untuk bernikah itu mesti berharta atau mempunyai RM 10 000 untuk belanja nikah baru boleh bernikah atau mesti mempunyai kerja tetap sebab takut si perempuan nantinya kena makan pasir sebab si suami tiada kerja.

Ini kerana dalam hadith yang lain seperti hadith Sahl bin Said As-Sa’adi bahawa baginda pernah menikahkan seorang sahabat dengan maskahwin (mahar) hanya berupa beberapa ayat dari Al-Qur’an disebabkan sahabat tersebut terlalu miskin sehingga tidak punyai apa-apa untuk dijadikan maskahwin walaupun sebentuk cincin besi (sila lihat hadith sahih riwayat bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472 dan daruquthni dll).

Maka inilah yang disebut dalam firman Allah :


“Jika mereka itu fuqara (miskin) maka akan dikayakan oleh Allah dari rezeki-Nya..” (An-Nur : 24).


Oleh yang demikian, apabila disimpulkan dalam hadith ini bahawa barangsiapa yang mampu bersetubuh maka hendaklah bernikah maka bukankah semua orang sekarang mampu bersetubuh kecuali mereka yang sakit dan yang punyai nafsu namun tidak mampu bersetubuh lantaran lemah ereksi atau punyai masalah kesihatan maka mereka itulah yang wajar berpuasa.

Selain itu, sangat tidak dapat diterima bahawa bagi mereka yang gagah dan kukuh mampu bersetubuh dan kuat syahwatnya hanya disuruh berpuasa sedang di jalan-jalan dan sekitar penuh wanita dan godaan siang malam baik dalam televisyen, jalan-jalan tempat kerja dan tempat belajar dan sekeliling.

Sungguh pun Islam menyuruh menundukkan pandangan, menjaga hati dan ditambah berpuasa namun dalam suasana hari ini tekanan dan desakan itu tetap akan menekan dan memberi kesan besar bagi jiwa lalu dalam hal ini ubat seperti onani diperlukan namun haruslah digunakan sekadar menutup dan menolak mudharat sahaja tanpa berlebih. Sabda baginda : “Sesungguhnya agama ini ialah mudah dan tidaklah yang (sengaja) menyusahkan dirinya dalam hal agama ini melainkan dia akan dikalahkan (tidak mampu)” (hadith sahih riwayat bukhari syarah ibn hajar jilid 1 m/s 93).

Kesimpulan :

Diperbolehkan barangsiapa yang terdesak dan perlu menurunkan tekanan syahwatnya untuk beronani dan ini dibuat dengan turut berusaha mempertingkatkan usahanya untuk membolehkan nikah demi mencapai perintah Allah.


“ Tidaklah Allah meletakkan tanggungjawab pada seseorang melainkan dengan sekadar dengan kemampuannya” (Al-Baqarah : 286).


Tidak boleh beronani jika ianya dibuat semata-mata untuk seronok dan mencari kepuasan kerana Islam mengharamkan perbuatan onani yang mencari keseronokkan kerana ianya mendekati zina dan kekejian.


“ Adapun orang yang takut kepada kebesaran tuhannya dan menahan diri daripada hawa nafsunya maka syurgalah tempatnya” (An-Nazi’at : 40-41).


Baik lelaki mahupun perempuan yang beronani demi terpaksa menenangkan syahwatnya hendaklah banyak mengawal diri dan berusaha mendekat diri kepada Allah swt sambil banyak berdoa kerana Allah tidak menurunkan sesuatu penyakit melainkan memberikan ubatnya dan ubat syahwat ialah nikah.

Bagi mereka yang berusaha untuk nikah namun tidak mampu kerana masalah kewangan, masalah keluarga akibat punyai ibu bapa yang bodoh dan gila lagi tidak memahami maka hendaklah mengadu kepada mereka yang alim dan mempunyai kelebihan moga dapat dibantu.


" Bertanyalah kamu kepada orang yang mengerti jika kamu tidak mengetahui " (Surah An-Nahl : 43).

“ Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah maka sesungguhnya Allah akan menyediakan baginya jalan keluar (dari kesusahan) dan memberikannya rezeki dari jalan-jalan yang tidak disangkai olehnya” (Surah Thalaq : 2-3).
Persiapan Menghadapi Bulan Ramadhan

Oleh : Nurhayati Halid, S.HI

Hendaklah menghadapi bulan ramadhan yang mulia ini dengan melakukan persediaan dan persiapan untuk memastikan amalan puasa dan ibadah diterima dan mendapat keredhaan Allah swt.

“ Dan tidaklah kami menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadat kepada kami.” (Adz-zariyat : 56).

Persiapan pertama

Memperbetulkan aqidah dan keimanan kepada Allah swt menurut panduan yang sahih dengan memastikan kefahaman aqidah, konsep keimanan berada di landasan yang benar dan membersihkan karat-karat kesyirikkan dan kejahilan dari jiwa.

“ Barangsiapa yang berbuat kebaikan sesuai dengan apa yang dihidayahkan maka sesungguhnya dia telah membuat kebaikan untuk dirinya sendiri. Dan sesiapa yang sesat maka sesungguhnya kesesatan itu merugikan dirinya sendiri.” (Al-Isra : 15).


Aqidah yang sahih

Memastikan memiliki aqidah yang sahih ialah satu keperluan dan kewajipan kerana tidak diterima ibadah dan tidak bernilai ibadah yang dilakukan tanpa memiliki aqidah yang sahih. Kefahaman aqidah yang sahih ialah apa yang datang secara pasti dan yakin dari pemahaman salaf soleh yang merupakan sebaik-baik umat dan terpelihara keimanan dan keilmuan mereka serta terjamin. Sabda baginda salallahualaihiwasalam melalui riwayat Aisyah ra : “ Sebaik-baik kurun manusia ialah kurun aku berada di dalamnya dan kemudian kurun kedua (Sahabat) dan kurun ketiga (Tabi’ien)”(hadith Sahih riwayat Muslim no 1965 Jilid 2, Abu Daud no. 44 Jilid 5).

“ Dan tidaklah kami mengutuskan sebelum kamu daripada rasul-rasul melainkan kami mewahyukan kepada mereka bahwasanya tiada tuhan selain aku maka sembahlah aku.” (Al-Anbiya’ : 25).

Begitulah juga seperti apa yang diperintahkan oleh rasulullah salallahualaihiwasalam kepada Muaz bin Jabal ketika diutuskan sebagai naqib (utusan rasulullah) ke Yaman untuk berdakwah di sana dengan sabdanya kepada Muaz :

“ Seawal-awal perkara yang hendak kamu dakwahkan kepada manusia haruslah tauhid kepada Allah.” (Hadith Sahih, riwayat Bukhari no.6937).

Sebagaimana disebut oleh Imam Abd Izz dalam kitabnya Syarah Aqidah Thahawiyah menyebutkan bahawa hendaklah setiap muslim itu berada dalam aqidah yang sahih dan tetap meninggalkan dunia dengan aqidah yang sahih juga sebagaimana sabda baginda salallahualaihiwasalam : “ Barangsiapa yang mati dalam keadaan mengetahui bahawa tiada tuhan selain Allah ( memiliki aqidah yang benar) maka sesungguhnya dia akan masuk syurga.” (Hadith Sahih, riwayat Muslim no.43 dan Ahmad 69/1).

Memahami manhaj ahlul sunnah wal jamaah menurut pegangan salaf soleh tanpa ta’wil yang jahil, tanpa mengguna akal fikiran yang lemah sebaliknya berpegang kepada keutuhan riwayat dan kesahihan pegangan salaf soleh dalam hal-hal aqidah dan keagamaan.